Nama : Vica Haristantia
NPM :
17212568
Kelas : 4EA25
Contoh Kasus Etika Dalam
Berbisnis dan Penyelesaiannya
I.
Contoh Kasus
Lumpur Lapindo
Banjir
Lumpur Panas Sidoarjo atau Lumpur Lapindo, merupakan peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo
Brantas Inc di Dusun Balongnongo Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten
Sidoarjo, Jawa Timur, sejak 29 Mei 2006. Lokasi semburan lumpur ini berada di
Porong, yakni kecamatan di bagian selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 km
sebelah selatan kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Gempol
(kabupaten Pasuruan) di sebelah selatan. Lokasi pusat semburan hanya berjarak
150 meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi
gas milik Lapindo Brantas Inc sebagai operator blok Brantas.
Lokasi
semburan lumpur tersebut merupakan kawasan pemukiman dan di sekitarnya
merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari lokasi
semburan terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan
Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), serta jalur kereta api
lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi, Indonesia. Lumpur juga
berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Kandungan logam berat (Hg), misalnya,
mencapai 2,565 mg/liter Hg, padahal baku mutunya hanya 0,002 mg/liter Hg. Hal
ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan, iritasi kulit dan kanker. Kandungan
fenol bisa menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantung berdebar
(cardiac aritmia), dan gangguan ginjal.
Perusahaan terkesan lebih mengutamakan
penyelamatan asset-asetnya daripada mengatasi masalah lingkungan dan sosial
yang ditimbulkan. Namun Lapindo Brantas akhirnya sepakat untuk membayarkan
tuntutan ganti rugi kepada warga korban banjir Lumpur Porong, Sidoarjo. Lapindo
akan membayar Rp2,5 juta per meter persegi untuk tanah pekarangan beserta
bangunan rumah, dan Rp120.000 per meter persegi untuk sawah yang terendam
lumpur.
Selain
perusakan lingkungan dan gangguan kesehatan, dampak sosial banjir lumpur tidak
bisa dipandang remeh. Setelah lebih dari 100 hari tidak menunjukkan perbaikan
kondisi, baik menyangkut kepedulian pemerintah, terganggunya pendidikan dan
sumber penghasilan, ketidakpastian penyelesaian, dan tekanan psikis yang
bertubi-tubi, krisis sosial mulai mengemuka.
A.
Kronologi Terjadinya Luapan Lumpur
Sebenarnya ada beberapa hal yang diduga sebagai
penyebab terjadinya luapan lumpur lapindo, seperti kaitannya dengan gempa
Yogyakarta yang berlangsung pada hari yang sama, aspek politik yaitu eksplorasi
migas oleh pemerintah, dan aspek ekonomis yaitu untuk menghemat dana
pengeluaran, maka PT Lapindo sengaja tidak memask selubung bor (casing) pada sumur BPJ-1.
Salah satu dari ketiga perkiraan yang sudah umum
diketahui banyak orang tentang penyebab meluapnya lumpur lapindo di Porong
Sidoarjo 29 Mei 2006 lalu adalah PT Lapindo Brantas yang waktu itu sedang
melakukan kegiatan di dekat lokasi semburan.
Kegiatan yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas waktu
iu adalah pengeboran sumur Banjar Panji-1 (BPJ-1) pada awal maret 2006,
kegiatan tersebut bekerjasama dengan perusahaan kontraktor pengeboran yaitu PT
Medici Citran Nusantara.
Dugaan atas meluapnya lumpur tersebut kepada PT
Lapindo Brantas adalah kurang telitinya PT Lapindo dalam melakukan pengeboran
sumur dan terlalu menyepelekan. Dua hal tersebut sudah tampak ketika rancangan
pengeboran akhirnya tidak sesuai dengan yang ada dilapangan. Rancangan
pengeboran adalah sumur akan dibor dengan kedalaman 8500 kaki (2590 meter)
untuk bisa mencapai batu gamping. Lalu sumur tersebut dipasang casing yang
bervariasi sesuai dengan kedalaman sebelum mencapai batu gamping.
Awalnya, PT Lapindo sudah memasang casing 30
inchi pada kedalaman 150 kaki, 20 inchi pada 1195 kaki, 16 inchi pada 2385 kaki
dan 13-3/8 inchi pada 3580 kaki. Namun setelah PT Lapindo mengebor lebih dalam
lagi, mereka lupa memasang casing. Mereka berencana akan memasang casing lagi
setelah mencapai/menyentuh titik batu gamping. Selama pengeboran tersebut,
lumpur yang bertekanan tinggi sudah mulai menerobos (blow out), akan tetapi PT Lapindo masih bisa mengatasi dengan pompa
lumpur dari PT Medici.
Dan setelah kedalam 9297 kaki, akhirnya mata bor
menyentuh batu gamping. PT Lapindo mengira target sudah tercapai, namun
sebenarnya mereka hanya menyentuh titik batu gamping saja. Titik batu gamping
itu banyak lubang sehingga mengakibatkan lumpur yang digunakan untuk melawan
lumpur dari bawah sudah habis, lalu PT Lapindo berusaha menarik bor, tetapi
gagal, akhirnya bor dipotong dan operasi pengeboran dihentikan serta perangkap
BOP (Blow Out Proventer) ditutup. Namun fluida yang bertekanan tinggi
sudah terlanjur naik ke atas sehingga fluida tersebut harus mencari jalan lain
untuk bisa keluar. Itu lah yang menyebabkan penyemburan tidak hanya terjadi di
sekitar sumur melainkan di beberapa tempat. Oleh karena itu terjadilah semburan
lumpur lapindo.
B.
Usaha Menghentikan Semburan Lumpur
Mengenai luapan lumpur lapindo beberapa pihak
ada yang mengatakan luapan lumpur ini bisa dihentikan, dengan beberapa skenario
dibawah ini, namun asumsi luapan bisa dihentikan sampai tahun 2009 tidak
berhasil sama sekali, yang mengartikan luapan ini adalah fenomena alam.
Skenario pertama menghentikan luapan lumpur
panas lapindo dengan menggunakan Snubbing Unit. Snubbing unit adalah usaha untuk menemukan rangkaian mata bor yang
dulunya digunakan untuk mengebor sumur yang sekarang mengeluarkan lumpur panas.
Lalu rangkaian mata bor dapat ditemukan pada kedalaman 2991 kaki, dan sudah
dicoba untuk memasukkan material-material yang kiranya dapat mendorong
rangkaian mata bor ke dasar sumur (9297 kaki) untuk menutup sumur yg
mengeluarkan lumpur panas. Namun, cara ini sia-sia saja. Snubbing Unit gagal
mendorong mata bor tersebut sampai ke dasar sumur.
Skenario kedua, menghentikan luapan lumpur
panas lapindo dengan cara melakukan pengeboran miring (sidetracking) untuk
menghindari mata bor yang tertinggal di dalam sumur. Proses pengeboran
dilakukan dengan menggunakan Ring milik PT Pertamina (persero). Ternyata cara
ini juga belum bisa mengatasi bencana lumpur panas lapindo. Cara ini juga gagal
karena telah ditemukan terjadinya kerusakan selubung di beberapa kedalaman
antara 1.060-1.500 kaki, serta terjadinya pergerakan lateral di lokasi pemboran
BJP-1. Kondisi itu mempersulit pelaksanaan sidetracking. Selain itu muncul
gelembung-gelembung gas bumi di lokasi pemboran yang dikhawatirkan membahayakan
keselamatan pekerja, ketinggian tanggul di sekitar lokasi pemboran telah lebih
dari 15 meter dari permukaan tanah sehingga tidak layak untuk ditinggikan lagi.
Oleh karena itu, PT.Lapindo melaksanakan penutupan secara permanen sumur BIP-1.
Skenario ketiga menghentikan lumpur panas
lapindo dengan cara pemadaman lumpur, dengan membuat 3 sumur baru (relief
well). Tiga lokasi yang dijadikan : Pertama, sekitar 500 meter barat daya Sumur
Banjar Panji-1. Kedua, sekitar 500 meter barat barat laut sumur Banjar Panji 1.
Ketiga, sekitar utara timur laut dari Sumur Banjar Panji-1. Sampai saat ini,
cara ini masih diusahakan, semoga saja cara ini dapat membuahkan hasil.
Pada 9 September 2006, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menandatangani surat keputusan pembentukan Tim Nasional Penanggulangan
Semburan Lumpur di Sidoarjo, yaitu Keppres Nomor 13 Tahun 2006. Dalam Keppres
itu disebutkan, tim dibentuk untuk menyelamatkan penduduk di sekitar lokasi
bencana, menjaga infrastruktur dasar, dan menyelesaikan masalah semburan lumpur
dengan risiko lingkungan paling kecil. Tim dipimpin Basuki Hadi Muljono, Kepala
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum,
dengan tim pengarah sejumlah menteri, diberi mandat selama enam bulan. Seluruh
biaya untuk pelaksanaan tugas tim nasional ini dibebankan pada PT Lapindo
Brantas.
Namun upaya Timnas yang didukung oleh Rudy
Rubiandini ternyata gagal total walaupun telah menelan biaya 900 milyar rupiah.
Rapat Kabinet pada 27 September 2006
akhirnya memutuskan untuk membuang lumpur panas Sidoardjo langsung ke Kali
Porong. Keputusan itu dilakukan karena terjadinya peningkatan volume semburan
lumpur dari 50,000 meter kubik per hari menjadi 126,000 meter kubik per hari,
untuk memberikan tambahan waktu untuk mengupayakan penghentian semburan lumpur
tersebut dan sekaligus mempersiapkan alternatif penanganan yang lain, seperti
pembentukan lahan basah (rawa) baru di kawasan pantai Kabupaten Sidoardjo.
Banyak pihak menolak rencana pembuangan ke
laut ini, diantaranya Walhi dan ITS. Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR
RI, 5 September 2006, menyatakan luapan lumpur Lapindo
mengakibatkan produksi tambak pada lahan seluas 989 hektar di dua kecamatan
mengalami kegagalan panen. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP)
memperkirakan kerugian akibat luapan lumpur pada budidaya tambak di kecamatan
Tanggulangin dan Porong Sidoarjo, Jawa Timur, mencapai Rp10,9 miliar per tahun.
Dan rencana pembuangan lumpur yang dilakukan dengan cara mengalirkannya ke laut
melalui Sungai Porong, bisa mengakibatkan dampak yang semakin meluas yakni
sebagian besar tambak di sepanjang pesisir Sidoarjo dan daerah kabupaten lain
di sekitarnya, karena lumpur yang sampai di pantai akan terbawa aliran transpor
sedimen sepanjang pantai. Dampak lumpur itu bakal memperburuk kerusakan
ekosistem Sungai Porong. Ketika masuk ke laut, lumpur otomatis mencemari Selat Madura dan sekitarnya. Areal tambak seluas 1.600 hektare
di pesisir Sidoarjo akan terpengaruh.
C.
Dampak Luapan Lumpur Lapindo
Semburan
lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi
aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Luapan lumpur terjadi pertama kali pada
2006 hingga kini telah memaksa sekitar 60 ribu orang mengungsi. Tidak hanya
itu, masih banyak dampak lain yang timbul akibat bencana ini, diantaranya
adalah :
1. Lumpur menggenangi 16 desa di tiga kecamatan. Semula
hanya menggenangi empat desa dengan ketinggian sekitar 6 meter, yang membuat
dievakuasinya warga setempat untuk diungsikan serta rusaknya areal pertanian.
Luapan lumpur ini juga menggenangi sarana pendidikan dan Markas Koramil Porong.
Hingga bulan Ahustus 2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah
desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga
yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi.
Karena tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah
terendam lumpur.
2. Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur
hingga Agustus 2006 antara lain: lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo,
Jatirejo dan Kedungcangkring; lahan padi seluas 172,39 ha di Siring,
Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon;
serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang.
3. Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan
aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang
tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini.
4. Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para
pegawai juga terancam tak bekerja.
5. Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas
Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan
listrik dan telepon)
6. Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang
lumpur dan rusak sebanyak 1.683 unit. Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring
142, Jatirejo 480, Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7
sekolah negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15,
masjid dan musala 15 unit.
7. Kerusakan lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi,
termasuk areal persawahan
8. Pihak Lapindo melalui Imam P. Agustino, Gene-ral
Manager PT Lapindo Brantas, mengaku telah menyisihkan US$ 70 juta (sekitar Rp
665 miliar) untuk dana darurat penanggulangan lumpur.
9. Akibat amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan
lumpur, pipa air milik PDAM Surabaya patah.
10. Meledaknya pipa
gas milik Pertamina akibat penurunan tanah karena tekanan lumpur dan sekitar
2,5 kilometer pipa gas terendam.
11. Ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol hingga waktu
yang tidak ditentukan, dan mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif,
yaitu melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong dan jalur Waru-tol-Porong. Penutupan ruas
jalan tol ini juga menyebabkan terganggunya jalur transportasi Surabaya-Malang
dan Surabaya-Banyuwangi serta kota-kota lain di bagian timur pulau Jawa. Ini
berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan
Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa
Timur.
12. Tak kurang 600 hektar lahan terendam.
13. Sebuah SUTET milik PT PLN dan seluruh jaringan telepon
dan listrik di empat desa serta satu jembatan di Jalan Raya Porong tak dapat
difungsikan.
14. Berubahnya suhu udara yang semakin panas, yang
bercampur bau lumpur.
15. Mayoritas warga sekitar lumpur kini begitu akrab
dengan sesak nafas dan batuk. Sekalipun belum ada korban meninggal akibat ISPA,
namun batuk ‘jamaah’ yang diidap warga sulit untuk disebut wajar.
16. Pencemaran air
di kawasan sekitar bencana yang menyebabkan air menjadi tidak layak lagi
dikonsumsi. Akibatnya warga terpaksa membeli air bersih dari sumber mata air
Prigen yang dijual perusahaan pengangkut air dengan harga Rp. 1500 per curigen
(25 liter).
17. Pengangguran massal yang mengancam masa depan warga.
18. Sejumlah warga merelakan anaknya tidak sekolah akibat
sulitnya mendapatkan pekerjaan baru. Tingkat pendidikan rendah menjadi
penghalang selanjutnya. Sayangnya disituasi rumit ini warga tak disiapkan pekerjaan
oleh Lapindo Berantas, dan nyaris di campakkan pemerintahan yang berkuasa.
D.
Penyebab Terjadinya Bencana Menurut Para Ahli
Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Ilmuwan dari berbagai negara menyimpulkan
bahwa luapan lumpur adalah akibat dari proses pengeboran eksplorasi gas yang
dilakukan PT. Lapindo Brantas. Tim yang dipimpin oleh Richard Davies dari
Universitas Durham, Inggris, itu menyatakan, data yang dirilis Lapindo yang
menjadi dasar bukti baru timnya bahwa pengeboran menyebabkan luapan lumpur.
“Kami
menemukan laporan harian salah satu titik pengeboran yang menyatakan Lapindo sempat memompakan kembali lumpur galiannya untuk
menghentikan luapan lumpur. Upaya
itu menunjukkan beberapa keberhasilan dan membuat luapan lumpur melambat,” ujar
Davies. Dari data tersebut Davies dan timnya menemukan bukti baru.
“Fakta bahwa luapan lumpur melambat menjadi bukti bahwa lubang pengeboran
memang terhubung dengan sumber luapan lumpur,” ungkap Davies.
Hal
ini diperkuat oleh ungkapan anggota tim asal Universitas Curtin, Australia,
Mark Tingay, yang menyatakan bahwa luapan lumpur diakibatkan oleh gempa bumi
adalah tidak masuk akal.
“Gempa
bumi yang mereka (pihak Lapindo) klaim sebagai penyebab utama luapan lumpur
hanya memiliki dampak sepele. Alasannya, gempa bumi terjadi di Yogyakarta dua
hari sebelum lumpur meluap, dan jauh dari lokasi luapan lumpur, yakni sekitar
250 km di sebelah barat daya titik luapan,” ujar Tingay. Dan melalui
serangkaian konferensi internasional yang diselenggarakan oleh pihak yang
netral, diperoleh hasil akhir bahwa kesalahan operasi Lapindo dianggap para
ahli sebagai penyebab semburan Lumpur panas di Sidoarjo.
Akan
tetapi pihak Lapindo dan beberapa geolog menganggap bahwa semburan Lumpur
diakibatkan oleh gempa bumi Yogyakarta yang terjadi dua hari sebelum Lumpur
menyembur pada tanggal 29 Mei 2006.
Sementara
sebagian ahli menganggap bahwa hal itu tidak mungkin karena jarak yang terlalu
jauh dan skala gempa yang terlalu kecil. Mereka, melalui berbagai penerbitan di
jurnal ilmiah yang sangat kredibel, justru menganggap dan menemukan fakta bahwa
penyebab semburan adalah kesalahan operasi yang dilakukan oleh Lapindo. Lapindo
telah lalai memasang casing, dan gagal menutup lubang sumur ketika terjadi loss
dan kick, sehingga Lumpur akhirnya menyembur. (Ketika Lapindo mengebor lapisan
bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka “belum” memasang
casing 9-5/8 inchi).
Puluhan
ahli datang dari seluruh penjuru dunia membahas enam makalah tentang masalah
Lapindo yang dipaparkan oleh para presenter, baik dari pihak Lapindo maupun
para pakar independen. Dan karena para ahli yang berada di pihak Lapindo tetap
berkeras dengan pendirian mereka, untuk memperoleh kepastian pendapat dari para
ahli dunia tersebut dengan cara voting, menggunakan metoda langsung angkat
tangan. Hasilnya, tidak diragukan lagi bahwa sebagian besar peserta yang hadir
berpendapat bahwa penyebab semburan adalah karena pengeboran yang disebabkan
oleh Lapindo.
Hasil
konferensi ini mestinya cukup untuk meyakinkan publik, pemerintah, dan penegak
hukum di Indonesia bahwa Lapindo merupakan pihak yang harus bertanggung jawab
dalam Bencana ini. Kesimpulan ini juga diharapkan bisa segera menghentikan
berbagai upaya Lapindo untuk menghindar dari kewajiban, serta segera memenuhi
hak dari korban Lumpur.
Para tersangka dijerat Pasal 187 dan Pasal 188 KUHP dan UU No 23/1997
Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 42 tentang pencemaran lingkungan, dengan ancaman
hukum 12 tahun penjara. "Otomatis UU pencemaran lingkungan hidup ini sudah
termasuk kejahatan korporasi karena merusak lingkungan hidup," kata Wakil
Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Anton Bachrul Alam yang
sejak tahun 2009 menjadi Kapolda Jawa Timur.
Pemerintah dianggap tidak serius menangani kasus luapan lumpur panas
ini. Masyarakat adalah korban yang paling dirugikan, di mana mereka harus
mengungsi dan kehilangan mata pencaharian tanpa adanya kompensasi yang layak.
Pemerintah hanya membebankan kepada Lapindo pembelian lahan bersertifikat
dengan harga berlipat-lipat dari harga NJOP yang rata-rata harga tanah dibawah
Rp. 100 ribu- dibeli oleh Lapindo sebesar Rp 1 juta dan bangunan Rp 1,5 juta
masing-masing permeter persegi. untuk 4 desa (Kedung Bendo, Renokenongo,
Siring, dan jatirejo) sementara desa-desa lainnya ditanggung APBN, juga
penanganan infrastruktur yang rusak.Hal ini dianggap wajar karena banyak media
hanya menuliskan data yang tidak akurat tentang penyebab semburan lumpur ini.
Salah satu pihak yang paling mengecam penanganan bencana lumpur Lapindo
adalah aktivis lingkungan hidup. Selain mengecam lambatnya pemerintah dalam
menangani lumpur, mereka juga menganggap aneka solusi yang ditawarkan
pemerintah dalam menangani lumpur akan melahirkan masalah baru, salah satunya
adalah soal wacana bahwa lumpur akan dibuang ke laut karena tindakan tersebut
justru berpotensi merusak lingkungan sekitar muara.
PT Lapindo Brantas Inc sendiri lebih sering mengingkari
perjanjian-perjanjian yang telah disepakati bersama dengan korban.Menurut
sebagian media, padahal kenyataannya dari 12.883 buah dokumen Mei 2009 hanya
tinggal 400 buah dokumen yang belum dibayarkan karena status tanah yang belum
jelas. Namun para warga korban banyak yang menerangkan kepada Komnas HAM dalam
penyelidikannya bahwa para korban sudah diminta menandatangani kuitansi lunas
oleh Minarak Lapindo Jaya, padahal pembayarannya diangsur belum lunas hingga
sekarang. Dalam keterangannya kepada DPRD Sidoarjo pada Oktober 2010 ini Andi
Darusalam Tabusala mengakui bahwa dari sekitar 13.000 berkas baru sekitar 8.000
berkas yang diselesaikan kebanyakan dari korban yang berasal dari Perumtas
Tanggulangin Sidoarjo. Hal ini menunjukkan bahwa banyak keterangan dan
penjelasan yang masih simpang siur dan tidak jelas.
II.
Penyelesaian Dari
Sisi Etika Bisnis
Dari Uraian
kasus diatas diketahui bahwa kelalaian yang dilakukan PT. Lapindo Brantas
merupakan penyabab utama meluapnya lumpur panas di Sidoarjo, akan tetapi pihak
Lapindo malah berdalih dan enggan untuk bertanggung jawab. Jika dilihat dari
sisi etika bisnis, apa yang dilakukan oleh PT. Lapindo Berantas jelas telah
melanggar etika dalam berbisnis. Dimana PT. Lapindo Brantas telah melakukan eksploitasi
yang berlebihan dan melakukan kelalaian hingga menyebabkan terjadinya bencana
besar yang mengakibatkan kerusakan parah pada lingkungan dan sosial.
Eksploitasi
besar-besaran yang dilakukan PT. Lapindo membuktikan bahwa PT. Lapindo rela
menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan. Dan keengganan PT.
Lapindo untuk bertanggung jawab membuktikan bahwa PT. Lapindo lebih memilih
untuk melindungi aset-aset mereka daripada melakukan penyelamat dan perbaikan
atas kerusakan lingkungan dan sosial yang mereka timbulkan.
Padahal
baru-baru ini beberapa akademisi dan praktisi bisnis melihat adanya hubungan
sinergis antara etika dan laba. Menurut mereka, justru di era kompetisi yang
ketat ini, reputasi baik merupakan sebuah competitive advantage yang sulit
ditiru.
Doug Lennick
dan Fred Kiel, dalam bukunya yang berjudul Moral Intelligence, berargumen bahwa
perusahaan-perusahaan yang memiliki pemimpin yang menerapkan standar etika dan
moral yang tinggi terbukti lebih sukses dalam jangka panjang.
Hal yang sama juga dikemukakan miliuner Jon M. Huntsman, 2005 dalam bukunya
yang berjudul Winners Never Cheat. Dimana ia mengatakan bahwa kunci utama
kesuksesan adalah reputasinya sebagai pengusaha yang memegang teguh integritas
dan kepercayaan pihak lain.
Tidak hanya itu, dalam sebuah studi selama dua tahun yang dilakukan The
Performance Group, sebuah konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever,
Monsanto, Imperial Chemical, Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan
Gerling, menemukan bahwa pengembangan produk yang ramah lingkungan dan
peningkatan environmental compliance bisa menaikkan EPS (earning per share)
perusahaan, mendongkrak profitability, dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan
kontrak atau persetujuan investasi.
Di tahun 1999,
jurnal Business and Society Review menulis bahwa 300 perusahaan besar yang
terbukti melakukan komitmen dengan publik yang berlandaskan pada kode etik akan
meningkatkan market value added hingga dua atau tiga kali lebih besar daripada
perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa. Bukti lain, seperti riset yang
dilakukan oleh DePaul University di tahun 1997 menemukan bahwa perusahaan yang
merumuskan komitmen korporat mereka dalam menjalankan prinsip-prinsip etika
memiliki kinerja finansial (berdasar penjualan tahunan/revenue) yang lebih
bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa.
Hal ini
membuktikan bahwa etika berbisnis yang dipegang oleh suatu perusahaan akan
sangat mempengaruhi kelangsungan suatu perusahaan. Dan segala macam bentuk
pengabaian etika dalam berbisnis akan mengancam keamanan dan kelangsungan
perusahaan itu sendiri, lingkungan sekitar, alam, dan sosial.
https://www.academia.edu/11904600/Kasus_Lumpur_Lapindo_-_Materi_Etika_Bisnis_dan_Tanggung_Jawab_Sosial